Senin, 07 Juni 2010

Nasib Telepon Umum koin

Warga menelepon di gerai telepon umum Telkom di Terminal Blok M, Jakarta Selatan. Telepon umum semakin ditinggalkan karena penggunaan ponsel berbasis GSM dan CDMA semakin merakyat.

Hari gini masih pake telepon umum? Kayaknya aneh ya." Kata-kata mirip iklan sebuah produk telepon seluler atau yang kerap disebut HP itu berhasil menyihir ribuan warga Indonesia untuk memiliki HP. Lagi pula, harganya murah dan terjangkau. Lalu bagaimana nasib telepon umum atau biasa disebut telepon koin saat ini?

Fasilitas umum yang sekitar 10 tahun lalu pernah membuat orang harus antre menggunakan jasanya, kini nyaris kosong melompong, walau di beberapa tempat masih ada yang menggunakannya, terutama masyarakat kecil dan mereka yang kebetulan kehilangan HP atau mengalami kejadian darurat yang mengharuskan mereka mencari telepon koin. HP menawarkan banyak kemudahan, tinggal memencet tombol dari atas tempat tidur, misalnya, kita bisa berkomunikasi dengan orang lain. Tidak perlu antre sampai kaki pegal.

Sepintas dan setidaknya sampai saat ini tidak ada yang mempersoalkan kondisi telepon umum yang tidak terurus, karena hampir semua orang beranggapan hal itu sebagai risiko bisnis perusahaan telekomunikasi. Padahal, kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Singapura, Malaysia, bahkan Amerika Serikat (AS) sekalipun, sarana telepon umum tetap dipelihara dan dirawat, meskipun tingkat kehidupan masyarakatnya lebih maju dibanding Indonesia.

Tetapi, bukan orang Indonesia kalau tidak mengikuti tren dan gengsi. Yang lama selalu dibuang dan yang baru terus diburu. Memelihara sarana telepon umum seperti di Amerika, Singapura atau Malaysia itu sama artinya ketinggalan zaman.

Nila, mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta mengaku beralih menggunakan HP karena praktis, bisa dibawa kemana-mana dan keren. "Saya memilih menggunakan telepon seluler. Apalagi sekarang ada CDMA. Untuk telepon lokal pun lebih murah. Tidak perlu ke telepon umum, saya bisa menelepon kapan saja saya menginginkannya," katanya. Telepon umum di mata Nila, banyak kekurangannya. Selain banyak pesawatnya yang rusak dan tidak terurus, pemakaiannya kurang nyaman, karena ada pembatasan waktu serta harus antre.

Alasan Nila bisa diterima, paling tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi meninggalkan telepon umum, apalagi membiarkannya merana, termasuk menyalahkan sebagai ketinggalan zaman tentu bukan sikap yang bijak. Telepon umum adalah fasilitas kota yang harus ada. Sebuah kota dianggap layak, jika memiliki fasilitas umum seperti telepon umum. Apalagi, masih banyak kelompok masyarakat sampai saat ini mencintai telepon umum, bahkan setia menggunakannya.

Sutio Wardiono, warga Jakarta Timur, mengaku selalu menghubungi istri dan anak semata wayangnya di sela-sela kesibukannya bekerja dengan telepon umum. Tio, bapak yang sudah menginjak usia 39 tahun ini mengaku, masih tetap menikmati fasilitas murah dari PT Telkom ini sejak 20 tahun silam. Kebiasaan ini terus dilakukannya setiap hari. "Saya masih menggunakan telepon umum setiap hari, walaupun punya telepon genggam," kata Tio.

Tarif telepon umum lebih murah dan sekarang lebih bebas memakai, karena masyarakat sudah jarang yang memakainya. Dia mengaku, selalu mengantongi koin hanya untuk berkomunikasi dengan dua istri dan buah hatinya. Dengan modal koin Rp 100, ia sudah dapat menikmati percakapan kurang lebih satu menit. "Sarana telepon umum masih termasuk murah. Terkadang saya suka menghubungi saudara di Depok hanya mengeluarkan dana Rp 500 dan sudah puas bicara. Pokoknya masih lumayan lah," kata pria kelahiran Jakarta ini. Sedangkan, setiap hari, dia hanya menghabiskan koin hingga Rp 800 untuk menanyakan kondisi istri dan anaknya.

SP/Luther Ulag

Fasilitas telepon umum beralih fungsi menjadi tempat tidur pedagang kaki lima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar