Ternyata bukan hanya usaha kecil (UKM) yang was was dengan diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN-CINA (ACFTA) melainkan para Agen tunggal pemegang merek (ATPM) yang notabenenya merupakan kepanjangan tangan dari prinsipal mobil kelas dunia di tanah air ikut kuatir dengan serbuan mobil murah dari Cina pasca ACFTA berlaku.
Salah satu mobil murah dari Cina, akankah membanjiri pasar Indonesia
Salah satu mobil murah dari Cina, akankah membanjiri pasar Indonesia
“Belum mengkhawatirkan tapi harus diwaspadai,” ujar Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM) Joko Trisanyoto, di Jakarta, Rabu (7/4), menanggapi kemungkinan masuknya impor mobil dari Tiongkok secara utuh (CBU) dengan bea masuk 0%.
Ia mengatakan, kendati TAM merupakan pemimpin pasar otomotif di Indonesia dan memiliki jaringan yang kuat di Indonesia, pihaknya tidak menganggap enteng kemungkinan kehadiran mobil impor dari Tiongkok. TAM mewaspadai masuknya merek mobil dari Tiongkok maupun merek yang sudah mengglobal dan memiliki basis produksi di negara itu, seperti VolkWagen (VW).
“Kami tetap mewaspadai gerakan-gerakan itu (impor mobil dari Tiongkok) yang bisa saja dilakukan oleh importir umum (IU) maupun importir resmi dari prinsipal (pemegang merek),” ujarnya seperti dikutipAntara.
Namun ia optimistis bahwa dalam jangka pendek mobil impor dari China belum menjadi ancaman bagi berbagai merek mobil yang telah diproduksi di dalam negeri maupun yang telah beredar selama ini. Sebab, menurut dia, sebelum masuk ke pasar domestik, pemegang merek mobil tersebut harus menyiapkan infrastruktur berupa layanan purna jual yang kuat.
“Kalaupun ada (mobil impor dari China) saat ini pasti pertumbuhan penjualannya lebih lambat, karena mobil bukan sekadar barang konsumsi. Orang membeli mobil pasti mempertimbangkan layanan purna jual, jaringan penjualan, dan lain-lain. Hal itu butuh waktu lama,” ujar Joko. (Sumber: Investor Daily)
Bisa dibayangkan bila bea masuk 0 Persen Untuk mobil Cina, bakal murah sekali harga jualnya ditanah air kita. Ada yang sudah menantikan mau beli?
Senin, 07 Juni 2010
Jamu Merk China Digemari Warga Semarang
Metro Siang / Ekonomi / Sabtu, 9 Januari 2010 12:43 WIB
Metrotvnews.com, Semarang: Serbuan jamu merek China ke Indonesia membuat sejumlah pedagang jamu di Semarang, Jawa Tengah, senang. Sebab, permintaan konsumen akan jamu tersebut lebih tinggi dibanding jamu lokal. Selain harganya terjangkau, jamu tersebut diyakini ampuh menyembuhkan penyakit yang diderita konsumen.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk membuka perdagangan secara bebas dengan China berdampak membanjirnya produk-produk berlabel China, termasuk jamu di pasaran. Di kawasan Dadapsari, Semarang, konsumen lebih memilih jamu atau obat tradisional berlabel produksi China. Selain harganya terjangkau, konsumen mengakui jamu produk China lebih berkhasiat dibanding jamu produk lokal.
Para pedagang jamu di kawasan ini mengaku sampai kehabisan stok, menyusul banyaknya permintaan dari konsumen. Habisnya stok jamu dirasakan pedagang sejak diberlakukan perdagangan bebas untuk produk China oleh pemerintah, 1 Januari lalu. Permintaan jamu dan obat produk China mengalami peningkatan penjualan sejak akhir bulan Desember hingga awal Januari ini.(*)
Metrotvnews.com, Semarang: Serbuan jamu merek China ke Indonesia membuat sejumlah pedagang jamu di Semarang, Jawa Tengah, senang. Sebab, permintaan konsumen akan jamu tersebut lebih tinggi dibanding jamu lokal. Selain harganya terjangkau, jamu tersebut diyakini ampuh menyembuhkan penyakit yang diderita konsumen.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk membuka perdagangan secara bebas dengan China berdampak membanjirnya produk-produk berlabel China, termasuk jamu di pasaran. Di kawasan Dadapsari, Semarang, konsumen lebih memilih jamu atau obat tradisional berlabel produksi China. Selain harganya terjangkau, konsumen mengakui jamu produk China lebih berkhasiat dibanding jamu produk lokal.
Para pedagang jamu di kawasan ini mengaku sampai kehabisan stok, menyusul banyaknya permintaan dari konsumen. Habisnya stok jamu dirasakan pedagang sejak diberlakukan perdagangan bebas untuk produk China oleh pemerintah, 1 Januari lalu. Permintaan jamu dan obat produk China mengalami peningkatan penjualan sejak akhir bulan Desember hingga awal Januari ini.(*)
Nasib Telepon Umum koin
Warga menelepon di gerai telepon umum Telkom di Terminal Blok M, Jakarta Selatan. Telepon umum semakin ditinggalkan karena penggunaan ponsel berbasis GSM dan CDMA semakin merakyat.
Hari gini masih pake telepon umum? Kayaknya aneh ya." Kata-kata mirip iklan sebuah produk telepon seluler atau yang kerap disebut HP itu berhasil menyihir ribuan warga Indonesia untuk memiliki HP. Lagi pula, harganya murah dan terjangkau. Lalu bagaimana nasib telepon umum atau biasa disebut telepon koin saat ini?
Fasilitas umum yang sekitar 10 tahun lalu pernah membuat orang harus antre menggunakan jasanya, kini nyaris kosong melompong, walau di beberapa tempat masih ada yang menggunakannya, terutama masyarakat kecil dan mereka yang kebetulan kehilangan HP atau mengalami kejadian darurat yang mengharuskan mereka mencari telepon koin. HP menawarkan banyak kemudahan, tinggal memencet tombol dari atas tempat tidur, misalnya, kita bisa berkomunikasi dengan orang lain. Tidak perlu antre sampai kaki pegal.
Sepintas dan setidaknya sampai saat ini tidak ada yang mempersoalkan kondisi telepon umum yang tidak terurus, karena hampir semua orang beranggapan hal itu sebagai risiko bisnis perusahaan telekomunikasi. Padahal, kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Singapura, Malaysia, bahkan Amerika Serikat (AS) sekalipun, sarana telepon umum tetap dipelihara dan dirawat, meskipun tingkat kehidupan masyarakatnya lebih maju dibanding Indonesia.
Tetapi, bukan orang Indonesia kalau tidak mengikuti tren dan gengsi. Yang lama selalu dibuang dan yang baru terus diburu. Memelihara sarana telepon umum seperti di Amerika, Singapura atau Malaysia itu sama artinya ketinggalan zaman.
Nila, mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta mengaku beralih menggunakan HP karena praktis, bisa dibawa kemana-mana dan keren. "Saya memilih menggunakan telepon seluler. Apalagi sekarang ada CDMA. Untuk telepon lokal pun lebih murah. Tidak perlu ke telepon umum, saya bisa menelepon kapan saja saya menginginkannya," katanya. Telepon umum di mata Nila, banyak kekurangannya. Selain banyak pesawatnya yang rusak dan tidak terurus, pemakaiannya kurang nyaman, karena ada pembatasan waktu serta harus antre.
Alasan Nila bisa diterima, paling tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi meninggalkan telepon umum, apalagi membiarkannya merana, termasuk menyalahkan sebagai ketinggalan zaman tentu bukan sikap yang bijak. Telepon umum adalah fasilitas kota yang harus ada. Sebuah kota dianggap layak, jika memiliki fasilitas umum seperti telepon umum. Apalagi, masih banyak kelompok masyarakat sampai saat ini mencintai telepon umum, bahkan setia menggunakannya.
Sutio Wardiono, warga Jakarta Timur, mengaku selalu menghubungi istri dan anak semata wayangnya di sela-sela kesibukannya bekerja dengan telepon umum. Tio, bapak yang sudah menginjak usia 39 tahun ini mengaku, masih tetap menikmati fasilitas murah dari PT Telkom ini sejak 20 tahun silam. Kebiasaan ini terus dilakukannya setiap hari. "Saya masih menggunakan telepon umum setiap hari, walaupun punya telepon genggam," kata Tio.
Tarif telepon umum lebih murah dan sekarang lebih bebas memakai, karena masyarakat sudah jarang yang memakainya. Dia mengaku, selalu mengantongi koin hanya untuk berkomunikasi dengan dua istri dan buah hatinya. Dengan modal koin Rp 100, ia sudah dapat menikmati percakapan kurang lebih satu menit. "Sarana telepon umum masih termasuk murah. Terkadang saya suka menghubungi saudara di Depok hanya mengeluarkan dana Rp 500 dan sudah puas bicara. Pokoknya masih lumayan lah," kata pria kelahiran Jakarta ini. Sedangkan, setiap hari, dia hanya menghabiskan koin hingga Rp 800 untuk menanyakan kondisi istri dan anaknya.
SP/Luther Ulag
Fasilitas telepon umum beralih fungsi menjadi tempat tidur pedagang kaki lima.
Hari gini masih pake telepon umum? Kayaknya aneh ya." Kata-kata mirip iklan sebuah produk telepon seluler atau yang kerap disebut HP itu berhasil menyihir ribuan warga Indonesia untuk memiliki HP. Lagi pula, harganya murah dan terjangkau. Lalu bagaimana nasib telepon umum atau biasa disebut telepon koin saat ini?
Fasilitas umum yang sekitar 10 tahun lalu pernah membuat orang harus antre menggunakan jasanya, kini nyaris kosong melompong, walau di beberapa tempat masih ada yang menggunakannya, terutama masyarakat kecil dan mereka yang kebetulan kehilangan HP atau mengalami kejadian darurat yang mengharuskan mereka mencari telepon koin. HP menawarkan banyak kemudahan, tinggal memencet tombol dari atas tempat tidur, misalnya, kita bisa berkomunikasi dengan orang lain. Tidak perlu antre sampai kaki pegal.
Sepintas dan setidaknya sampai saat ini tidak ada yang mempersoalkan kondisi telepon umum yang tidak terurus, karena hampir semua orang beranggapan hal itu sebagai risiko bisnis perusahaan telekomunikasi. Padahal, kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Singapura, Malaysia, bahkan Amerika Serikat (AS) sekalipun, sarana telepon umum tetap dipelihara dan dirawat, meskipun tingkat kehidupan masyarakatnya lebih maju dibanding Indonesia.
Tetapi, bukan orang Indonesia kalau tidak mengikuti tren dan gengsi. Yang lama selalu dibuang dan yang baru terus diburu. Memelihara sarana telepon umum seperti di Amerika, Singapura atau Malaysia itu sama artinya ketinggalan zaman.
Nila, mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta mengaku beralih menggunakan HP karena praktis, bisa dibawa kemana-mana dan keren. "Saya memilih menggunakan telepon seluler. Apalagi sekarang ada CDMA. Untuk telepon lokal pun lebih murah. Tidak perlu ke telepon umum, saya bisa menelepon kapan saja saya menginginkannya," katanya. Telepon umum di mata Nila, banyak kekurangannya. Selain banyak pesawatnya yang rusak dan tidak terurus, pemakaiannya kurang nyaman, karena ada pembatasan waktu serta harus antre.
Alasan Nila bisa diterima, paling tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi meninggalkan telepon umum, apalagi membiarkannya merana, termasuk menyalahkan sebagai ketinggalan zaman tentu bukan sikap yang bijak. Telepon umum adalah fasilitas kota yang harus ada. Sebuah kota dianggap layak, jika memiliki fasilitas umum seperti telepon umum. Apalagi, masih banyak kelompok masyarakat sampai saat ini mencintai telepon umum, bahkan setia menggunakannya.
Sutio Wardiono, warga Jakarta Timur, mengaku selalu menghubungi istri dan anak semata wayangnya di sela-sela kesibukannya bekerja dengan telepon umum. Tio, bapak yang sudah menginjak usia 39 tahun ini mengaku, masih tetap menikmati fasilitas murah dari PT Telkom ini sejak 20 tahun silam. Kebiasaan ini terus dilakukannya setiap hari. "Saya masih menggunakan telepon umum setiap hari, walaupun punya telepon genggam," kata Tio.
Tarif telepon umum lebih murah dan sekarang lebih bebas memakai, karena masyarakat sudah jarang yang memakainya. Dia mengaku, selalu mengantongi koin hanya untuk berkomunikasi dengan dua istri dan buah hatinya. Dengan modal koin Rp 100, ia sudah dapat menikmati percakapan kurang lebih satu menit. "Sarana telepon umum masih termasuk murah. Terkadang saya suka menghubungi saudara di Depok hanya mengeluarkan dana Rp 500 dan sudah puas bicara. Pokoknya masih lumayan lah," kata pria kelahiran Jakarta ini. Sedangkan, setiap hari, dia hanya menghabiskan koin hingga Rp 800 untuk menanyakan kondisi istri dan anaknya.
SP/Luther Ulag
Fasilitas telepon umum beralih fungsi menjadi tempat tidur pedagang kaki lima.
Langganan:
Postingan (Atom)