Hasrat berbelanja kelas menengah-atas kota Jakarta sangat tinggi bahkan bisa dikatakan sudah dalam taraf kecanduan. Lihat saja, hampir setiap hari terutama pada hari libur pusat perbelanjaan (mall) selalu dipadati pengunjung. Tidak saja di mall, tingginya hasrat belanja warga Jakarta juga dapat dilihat dalam ajang Jakarta Fair di Kemayoran. Sejak dibuka tanggal 12 Juni hingga tanggal 29 Juni 2008 saja pengunjung Jakarta Fair telah mencapai 1.819.167 orang (sumber: ).
Tingginya hasrat berbelanja warga kota itu rupanya tidak disia-siakan oleh para pemilik modal dibidang property. Sementara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta juga melihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Perpaduan dua cara pandang Pemprov DKI Jakarta dan para pemilik modal itulah yang menyebabkan kota ini mengalami booming mall.
Hingga tahun 2006 jumlah mall di Jakarta mencapai 60-an, sementara tahun 2008 ini diperkirakan jumlah mall di Jakarta akan menembus angka 80 hingga 90-an mall. Bahkan hasil riset terbaru Procon menyebutkan hingga tahun 2010 telah direncanakan akan ada sekitar 13 proyek pusat perbelanjaan baru lagi (Procon Indah, 28 April 2008).
Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat perbelanjaan akan berada di Jakarta Utara, 20 persen akan berada di Jakarta Selatan dan 18 persen di Central Business District (CBD) Jakarta. Sementara sisanya akan tersebar di berbagai daerah di Jakarta lainnya. Luas pusat perbelanjaan di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta m2.
Jika dilihat dari sisi ekonomi semata, booming mall di Jakarta adalah sesuatu menguntungkan. Namun, bila kita melihat dari sisi yang lebih luas dengan memasukan biaya sosial dan ekologi, maka mulai terlihatlah benang kusut yang diakibatkan oleh fenomena booming mall di Jakarta itu.
Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat perbelanjaan di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini. Pengalihfungsian kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan daerah resapan air lainnya menjadi pusat perbelanjaan adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan mall di Jakarta.
Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sekitar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), dan bangunan megah lainnya.
Padahal data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007).
Bukan hanya itu, pengambilan air tanah secara besar-besaran ditambah beban bangunan di atas kota Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di kota ini beberapa sentimeter dalam setiap tahunnya. Artinya, potensi banjir di Jakarta akan semakin besar seiring denganbertambahnya pusat perbelanjaan baru di kota ini.
Sementara biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh banjir di kota ini tidaklah kecil. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) misalnya, memperkirakan kerugian akibat bencana banjir, yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) pada tahun 2007 lalu, mencapai Rp 8 triliun. Dari jumlah itu, Bappenas merinci, kerugian dari rumah penduduk yang rusak sebesar Rp 1,7 triliun, dan infrastruktur Rp 600 miliar. Sementara, kerugian dari sektor industri, perbankan serta usaha kecil menengah diperkirakan mencapai Rp 2 triliun.
Selain itu, penambahan kawasan komersial baru juga akan menambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Hal itu dikarenakan pengunjung dari pusat perbelanjaan itu sebagian besar adalah konsumen berkendaraan pribadi. Meningkatnya kemacetan lalu lintas ini bukan hanya akan mengurangi waktu produktif warga kota melainkan juga meningkatkan biaya kesehatan akibat polusi udara yang ditimbulkannya.
Terkait dengan kemancetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan dengan metode yang berbeda, hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun.
Sementara polusi udara yang diakibatkan oleh meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.
Dapat dibayangkan betapa berat beban ekologi dan sosial yang harus dipikul oleh kota Jakarta kedepannya bila prilaku konsumtif warga kelas menengah-atas di kota ini tidak dikendalikan bahkan difasilitasi dengan pertumbuhan pusat perbelanjaan baru. Untuk itu, tidak bisa tidak Pemprov DKI Jakarta harus segera mengeluarkan kebijakan yang lebih berani untuk tidak memberikan ijin bagi pembangunan pusat perbelanjaan baru seraya merevitalisasi tata ruang kota yang lebih ramah lingkungan dan sosial bagi keberlajutan kota Jakarta yang nyaman dan lestari untuk semua.
Minggu, 03 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar